Jumat, 10 April 2015

Bioteknik Pengendalian Serangga


Bioteknik Pengendalian Serangga adalah suatu teknik pengendalian dengan menggunakan senyawa atau campurannya baik berupa kimia alami atau sintetik yang dapat mempengaruhi biologi, fisiologi, dan perilaku serangga untuk tujuan pengendalian serangga hama tanaman. Teknik ini juga dikenal dengan istilah teknik pengendalian serangga secara modern dan bahan kimia ini dikenal dengan istilah bahan kimia perilaku.

Bahan senyawa yang biasa digunakan dalam bioteknik pengendalian ini antara lain dapat berupa senyawa yang bersifat Atractant (pemikat) termasuk feromon (sex, agregasi, alarm, afrodisiak, jejak/tanda), perangsang makan, dan peletakan telur; insect growth regulator (pengatur tumbuh-kembang serangga), repellent (fisik dan kimia), deterient, dan sterilisasi (kimia-radiasi pemandulan). Berikut ini akan kita bahas tentang metode pengandalian bioteknik serangga.

SEMIOKIMIA
Umumnya aktifitas serangga untuk mencari makanan, pasangan, tempat tinggal, dan bertelur dikendalikan dan diperingatkan oleh interaksi bahan kimia yang dikenal dengan istilah semiochemicals (semeon : jejak/tanda). Saat ini bahan-bahan tersebut sudah diproduksi secara sintetis dan digunakan untuk berbagai keperluan dalam pengendalian hama pertanian. Senyawa semiokemikal dapat bekerja antara individu atau jenis yang sama (intraspesifik) dan ini dikenal dengan istilah pheromone atau antara individu spesies yang berbeda (interspesifik) yang dikenal dengan allelochemical.

Allelochemicals:
Jika bahan semiokimia tersebut konduktif cocok untuk interaksi perilaku antar-spesies, maka bahan-bahan kimia tersebut disebut "allelochemicals ".

Allomone: zat kimia atau campuran bahan semiokimia yang dibentuk oleh organisme yang menguntungkan organisme penghasil, namun tidak menguntungkan bagi penerima. Sebagai contoh, di banyak spesies tanaman, serangga mendorong sekunder mencegah zat gizi mereka terbentuk. Ini dikelompokkan dengan nama allomone. Allomone digunakan sebagai racun dan juga mimikri dalam melindungi diri dari seranggan serangga lainnya. Semprotan gas dan cairan pertahanan dari perut kumbang pembom (Brachinus sp.).

Kairomon: zat kimia atau campuran bahan semiokimia yang dibentuk oleh organisme yang memungkinkan memebri manfaat kepada individu penerima. Contohnya sekresi larva Lepidoptera yang memikat kehadiran parasitoid dan predator.

Sinomon: senyawa semiokimia yang dikeluarkan dan disekresikan serangga yang memberikan efek positif antar individu penerima dan penghasil senyawa tersebut. Ini juga dikenal dengan efek mutualisme dan komensalisme. Satu contoh misalnya, serangga kutu jantan mengeluarkan senyawa kimia yang dapat menarik betina dan juga sekaligus menarik kedatangan predatornya.


Pheromone:
Pherine : carry/transfer dan hormone: Stimulan-provokatif, sehingga pheromone: provokatif, merangsang.

Beth untuk pertama kalinya pada tahun 1932 menyebut istilah Ektohormone. Namun Karlson dan peneliti dari Butenanth pada tahun 1959 mengganti istilah dengan Pheromone. Yaitu "senyawa kimia yang disekresikan ke luar tubuh oleh individu sebagai bau yang terdeteksi ke individu lain dari spesies yang sama, interaksi kimia ini menyebabkan reaksi tertentu dalam individu". Studi pertama dilakukan terhadap Bombyx mori betina yang mengsekresikan senyawa "Bombycol" tepung dengan mengungkapkan karakter kimia dalam waktu singkat telah datang untuk hari ini, menunjukkan perkembangan dan hasil yang sukses di hari ini digunakan untuk tujuan yang berbeda terhadap feromon yang berbahaya pekerjaan diambil. Peneliti mengekstrak 5.000 kelenjar bau di abdomen serangga betina dan mendapatkan 12 mg dari ekstrak Bombycol murni. Analisis bahan ini menunjukkan bahwa senyawa alkohol murni berfungsi sebagai feromon seks.

Bombycol: CH3 (CH2) 2CH = CH.CH.CH = CH (CH2) 8CH2OH seperti yang ditentukan.
Penelitian yang kedua didefinisikan sebagai feromon seksual dari  serangga Porthethia (Lymantria) dispar . Pada tahun 1960, Jacobs et al., mengekstrak bahan aktif dari 500.000 kupu-kupu betina berpasangan dan mereka mengisolasi Gyptol  yang juga termasuk senyawa alkohol.

Kemudian beberapa analog feromon seksual telah disintesis. Salah satunya gyplure. Hal ini kurang menarik bagi feromon feromon alami untuk serangga jantan. Feromon seksual ketiga yg diperoleh yaitu dari ratu Apis mellifera. Banyak benang nilon menggantung berpasangan laki lebah madu lebah ratu feromon mandibula yang menarik dan ditemukan bahwa sekresi kelenjar. Kemudian ditemukan bahwa ini adalah asam 9-0 * 0-decanoik. Selain itu, P ectinofor gossypiella, Protapar Sexta, ditentukan di eridoni Prodenia dan Trichoplusia.

Feromon digunakan untuk tujuan penggunaan langsung dan tidak langsung dalam pengendalian hama.

Pembagian feromon sesuai dengan pentingnya dalam pengendalian hama:

1.1.1. Feromon seks
Feromon serangga ini disekresikan oleh jantan atau betina untuk kawin. Mereka hanya disekresikan oleh betina atau laki-laki. feromon Seks mayoritas digunakan untuk menarik spesies serangga tunggal meskipun beberapa darinya dapat menarik serangga lainnya. Jumlah dan jenis feromon harus digunakan pada waktu yang tepat.

Pengaruh faktor lingkungan terhadap feromon ini tidak boleh dilupakan. Sebagai contoh, angin adalah faktor yang paling penting, sekresi feromon seks saat kematangan seksual betina untuk dibuahi, penyinaran dan intensitas cahaya terkait dengan pembentukan kompleks. Sebagai contoh, Noctuidae (Lep) keluarga feromon seks diketahui disekresikan setidaknya tingkat intensitas cahaya. Feromon seks Lepidoptera ditemukan dalam jumlah spesies lebih sejak tahun 1702 hingga saat ini telah menjadi feromon seks. Coleoptera, Hymenoptera,  dan beberapa ordo lain juga memiliki feromon yang menarik SEKSUAL fungsi masing-masing. Seringkali bau ini mencapai langsung ke sistem saraf pusat yang dapat dideteksi dari jarak yang jauh.

Feromon seks diterapkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hanya betina dalam fungsi hanya laki-laki atau menarik bagi feromon seks yang tersedia. Lepidoptera dari kelenjar di perut akhir betina, Lepidoptera. Serangga jantannya mengeluarkan feromon di sayap atau masih disekresikan dari kelenjar perut. Terdeteksi dengan indra khusus dari feromon seks betina disekresikan oleh antena laki-laki. Sensitivitas ini sangat kuat bahkan pada dosis rendah. Porthethria dispar (Lep.) 10-7 mg feromon yang dikeluarkan oleh betina, bahkan di lapangan, individu dapat tertarik pada pria pada jarak 3,7-4,5 km.

Penggunaan langsung dari feromon:
digunakan untuk memantau populasi hama untuk menentukan waktu pengendalian.


Bersambung…..






Rabu, 08 April 2015

Apa itu Serangga?


Serangga atau insecta / hexapoda adalah salah satu kelas avertebrata di dalam filum arthropoda yang memiliki kerangka luar (exoskeleton) berkitin, tubuh yang terbagi tiga bagian (kepala, thorax, dan abdomen), tiga pasang kaki (enam kaki;hexapoda) yang pangkalnya menyatu, mata majemuk, dan sepasang antena. Serangga termasuk salah satu kelompok hewan yang paling beragam, mencakup lebih dari satu juta spesies dan menggambarkan lebih dari setengah organisme hidup yang telah diketahui hidup di dunia.
Kajian ilmu mengenai peri kehidupan serangga disebut entomologi. Serangga termasuk dalam kelas insekta yang dibagi lagi menjadi 29 ordo, antara lain Diptera (misalnya lalat), Coleoptera (misalnya kumbang), Hymenoptera (misalnya semut, lebah, dantabuhan), dan Lepidoptera (misalnya kupu-kupu dan ngengat. Kelompok Apterigota serangga terdiri dari 4 ordo karena semua serangga dewasanya tidak memiliki sayap, dan 25 ordo lainnya termasuk dalam kelompok Pterigota karena memiliki sayap.


Sekilas tentang Serangga Parasitoid



Ada tiga kelompok musuh alami yang sering digunakan dalam pengendalian hayati serangga hama yaitu penggunaan mikroba pathogen, predator dan parasitoid. Pemanfaatan parasitoid sebagai agen pengendalian merupakan komponen yang banyak diintroduksikan untuk pengendalian hayati serangga hama. Van Lenteren (1993) menyatakan bahwa sampai tahun 1990 penggunaan parasitoid telah menunjukan keberhasilan yang tertinggi dari  kelompok predator dan pathogen yaitu sekitar 81% dari 420 total kasus pengendalian yang dilakukan.
Parasitoid merupakan suatu sebutan yang digunakan untuk serangga yang memarasit serangga. Banyak faktor yang menentukan tingkat keberhasilan pengendalian dengan parasitoid. Richard (1979) dan Molles (2002) menyebutkan keberhasilan serangga dalam memangsa (parasitasi) dapat ditentukan oleh empat proses yaitu penentuan habitat inang, penemuan inang, penerimaan inang dan kesesuian inang. Sedangkan optimaliasi peran parasitoid di lapangan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, ketersediaan pakan alami, adanya inang alternatif, kesesuaian inang dan daya pencarnya (dispersal) (deBach, 1964).
Perkembangan serangga parasitoid (Hymenoptera) dapat berlangsung dalam beberapa cara yaitu, parthenogenesis arrhenotoky, thelyotoky, dan deuterotoky (Godfray, 1994). Parthenogenesis arrhenotoky terjadi diamana telur-telur yang dibuahi (diploid) akan menghasilkan individu betina, sedangkan yang tidak dibuahi (haploid) menghasilkan individu jantan.  Parthenogenesis thelyotoky (spesies uniparental) adalah semua keturunan yang dihasilkan betina, sedangkan deuterotoky adalah thelyotoky yang kadang-kadang terdapat individu jantan. Perubahan thelyotoky ke deuterotoky dimungkinkan terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan, misalnya kenaikan suhu (Flanders, 1965; Quicke, 1997).
Serangga parasitoid mampu memanipulasi nisbah kelamin keturunannya tergantung pada kondisi lingkungannya.  Jika jumlah betina di lingkungan sudah banyak lebih baik untuk melakukan investasi anak jantan, karena anak jantan lebih dibutuhkan (Debout et al., 2002).  Nisbah kelamin biasanya diartikan sebagai proporsi jenis kelamin jantan parasitoid hymenoptera, mampu mengubah alokasi seksnya sebagai respon kehadiran betina lain dan memprediksi bahwa jenis kelamin suatu populasi parasitoid yang stabil secara evolusi menurun dari 0.5 mengikuti penurunan jumlah keturunan dan proporsi keturunan yang dihasilkan berkurang mengikuti jumlah betina ( Jervis and Kidd, 1996).

Karakteristik parasitoid

1.        Parasitoid biasanya menghancurkan inangnya selama perkembangannya.
2.        Inang parasitoid biasanya termasuk dalam kelas taksonomi yang sama (serangga)
3.        Parasitoid dewasa hidup bebas sementara itu hanya stadia pradewasa yang parasitik.
4.        Parasitoid berkembang hanya pada satu individu inang selama stadia pradewasa.
5.        Dinamika populasi parasitoid mirip dengan serangga predator.


Tipe  parasitoid

1.      Dalam hubungannya dengan inang, ada (a) endoparasit (internal); parasitoid hidup di dalam tubuh inang dimana tubuh inang biasanya terbuka, (b) ectoparasit (eksternal); parasitoid menyerang inang dari luar tubuh inang dimana inang biasanya hidup di tempat-tempat terlindung seperti hama pengorok daun, penggulung daun dan di dalam kokon atau lainnya.
2.      Dalam hubungannya dengan banyaknya parasitoid pradewasa per individu inang, ada (a) parasit soliter; satu individu parasitoid per satu individu inang,dan (b) parasit gregarius; banyak individu parasitoid per satu individu inang.
3.      Dalam hubungannya dengan stadia inang, ada parasit (a) telur, (b) larva, (c) pupa, (c) imago dan (d) kombinasi misalnya parasit telur-larva, larva pupa.
4.      Dalam hubungannya dengan spesies parasitoid lain, ada parasitoid (1) primer; yakni parasitoid yang memarasit hama, (2) sekunder (hiperparasitisme); yakni parasitoid yang memarasit parasitoid primer, (3) tersier (hiperparasitisme); yakni parasitoid yang memarasit parasitoid sekunder.
5.   Dalam hubungannya dengan kompetisi antar parasitoid pradewasa, ada (1) superparasitisme; kompetisi intraspesifik, (2) multipel parasitisme; kompetisi interspesifik.


Tipe  hiperparasitisme

1.      Langsung;  suatu parasitoid meletakkan telurnya langsung pada atau di dalam tubuh inang parasitik.
2.      Tidak langsung; suatu parasitoid sekunder meletakkan telurnya di dalam tubuh inang non-parasitik dan tidak terparasit. Biasanya telur tidak berkembang sampai inang non parasitik ini diparasit oleh suatu parasitoid primer, yang kemudian sebagai inang parasitoid sekunder.
3.      Fakultatif; parasitoid sekunder berkembang seperti suatu parasitoid primer di bawah kondisi yang sesuai.
4.      Obligat; parsitoid sekunder hanya dapat berkembang di dalam parasitoid primer.
5.      Autoparasitisme; parasitoid jantan berkembang sebagai hiperparasit (kadang-kadang terhadap parasitoid betina dari jenis yang sama) dan yang betina berkembang sebagai parasitoid primer.
6.      Kleptoparasitisme bukan hiperparasitisme yang sesungguhnya. Parasitoid memilih menyerang inang yang telah diparasit oleh jenis parasitoid lain dan kemudian bersaing dengan parasitoid pertama untuk mendapatkan nutrisi di dalam inang tersebut. Kleptoparasitoid biasanya memenangkan kompetisi

Referensi....